Semboyan Hidup Tentang Menuntut Ilmu
Pertama, adab penuntut ilmu terhadap diri sendiri
Menuntut ilmu adalah ibadah, maka dia tidak akan diterima oleh Allah ﷻ kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas. Seorang penuntut ilmu yang tidak ikhlas maka ilmunya tidak akan berkah, bahkan orang-orang yang ilmunya banyak tetapi tidak ikhlas bisa jadi membuat keributan di dalam medan dakwah. Sebagaimana hal ini telah diingatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam banyak hadis, di antaranya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu dengan maksud untuk bisa mendebat ulama (untuk menampakkan keilmuannya di hadapan lainnya, pen.) atau untuk mendebat orang-orang bodoh (menanamkan keraguan pada orang bodoh, pen.) atau agar menarik perhatian yang lainnya (supaya orang banyak menerimanya, pen.), maka Allah ﷻ akan memasukkannya dalam neraka.”([1])
Seseorang tidak boleh menuntut ilmu dengan niat agar bisa disandingkan dengan para ulama, atau agar bisa terlihat hebat dengan membantah orang bodoh. Demikian pula seseorang tidak boleh menuntut ilmu dengan tujuan agar dihormati oleh manusia. Walaupun pada umumnya jika seseorang sudah berilmu maka dia akan dihormati oleh manusia. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah ﷻ, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.”([2])
Seseorang tidak boleh menuntut ilmu dengan niat untuk mencari dunia, tetapi untuk mencari wajah Allah ﷻ. Adapun jika tiba-tiba Allah ﷻ bukakan dunia untuknya maka ini tidaklah masalah, yang penting dia tidak menuntut ilmu dengan niat awal dunia.
Selain itu, seorang penuntut ilmu juga mesti khawatir, belum tentu jika di awal dia berniat untuk Allah ﷻ maka di kemudian hari dia akan aman dari niat-niat duniawi. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan tentang keadaan para sahabat radhiallahu ‘anhum,
مَا كُنْتُ أَظُنُّ فِي أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَومَئِذٍ أَحَدًا يُرِيْدُ الدُّنْيَا، حَتَّى قَالَ اللهَ مَا قَالَ
“Aku dulu tidak menyangka ada seorang sahabat pun yang mencari dunia sampai Allah ﷻ menurunkan ayat.”([3])
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan ini ketika sebuah ayat turun tentang keadaan para sahabat yang berbeda-beda saat perang Uhud. Allah ﷻ berfirman,
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ ۚ مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ ۖ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (QS Ali ‘Imran : 152)
Tidak ada yang meragukan keikhlasan para sahabat, namun ternyata mereka juga pernah melakukan kesalahan. Walaupun pada akhirnya Allah ﷻ memaafkan para sahabat. Akan tetapi ini menjadi pelajaran bagi kita yang datang setelah para sahabat bahwa terkadang niat itu bisa berubah di tengah perjalanan. Baik itu seorang dai, penuntut ilmu, maupun panitia pengajian. Hendaknya tidak ada yang merasa super ikhlas, karena ikhlas itu perkara yang berat. Dia harus senantiasa mengecek dirinya apakah dia masih ikhlas atau tidak. Karena godaan yang bisa memalingkan seseorang dari keikhlasan sangat besar, ditambah godaan yang menarik menuju dunia sangatlah besar pula. Kalau sebagian sahabat saja bisa berubah niatnya maka apalagi dengan kita.
Hadis yang paling mengerikan tentang ketidakikhlasan adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ.ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Orang yang pertama kali diputuskan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid di jalan Allah ﷻ. Lalu dia didatangkan, kemudian Allah ﷻ memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya, maka dia pun mengenalinya. Allah ﷻ berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah ﷻ berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya (terjerembap di tanah), sampai dia pun dilemparkan di neraka.”
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al-Quran. Lalu orang itu didatangkan, lalu Allah ﷻ memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengenalinya. Allah ﷻ berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al-Quran.” Allah ﷻ berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang alim dan engkau membaca Al-Qur’an supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.” Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembap di tanah) sampai dia pun dilemparkan di neraka.”
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah ﷻ dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah ﷻ memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah ﷻ berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembap di tanah), kemudian dia dilemparkan di neraka.”([4])
Orang yang paling pertama diazab adalah tiga golongan ini, salah satunya adalah orang yang belajar ilmu agama. Oleh karena itu, setiap penuntut ilmu tidak boleh terlalu percaya diri dengan keikhlasannya.
Takwa adalah hal yang dituntut di mana pun dan kapan pun, Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah ﷻ di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”([5])
Terutama di zaman ini yang penuh dengan fitnah. Seseorang terkadang bertakwa di hadapan banyak orang namun saat bersendiri dia bermaksiat kepada Allah ﷻ. Di hadapan banyak orang dia adalah pembela sunnah namun kala bersendiri temannya iblis. Seseorang sangat butuh dengan takwa, karena seseorang yang bertakwa maka Allah ﷻ akan memberinya tambahan ilmu. Allah ﷻ berfirman,
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 282)
Berbeda dengan orang yang tidak bertakwa, bisa jadi ilmunya bertambah tetapi tidak berkah. Justru ilmu yang dimilikinya mengantarkannya kepada rasa sombong dan angkuh. Allah ﷻ juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al-Anfal: 29)
Allah ﷻ juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hadid: 28)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
لَيْسَ العِلْمُ عَنْ كَثْرَةِ الحَدِيْثِ، وَلَكِنْ العِلْمَ عَنْ كَثْرَةِ الخَشْيَةِ
“Ilmu bukanlah dengan banyaknya bicara, akan tetapi ilmu itu adalah banyaknya khasyyah (rasa takut kepada Allah).”
Takut kepada Allah ﷻ adalah konsekuensi bagi orang yang berilmu. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir: 28)
Oleh karena itu, setiap orang berusaha bertakwa terutama di saat-saat dia bersendiri. Lebih-lebih di zaman sekarang yang penuh dengan fitnah, didukung dengan fasilitas internet dan smartphone yang dapat menjerumuskan ke dalam hal-hal yang terlarang. Membuka situs-situs terlarang, bermudahan-mudahan dengan gambar wanita yang terbuka auratnya. Ini semua dapat membuat kepekaan kita hilang, bahkan bisa jadi kita tidak merasa bersalah sehingga tidak memohon ampun kepada Allahﷻ karena merasa hal tersebut adalah suatu hal yang biasa. Allahﷻ berfirman,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS Ghafir: 19)
Sebagaimana pepatah Indonesia, padi semakin berisi semakin merunduk. Seorang penuntut ilmu semakin bertambah ilmunya maka semestinya semakin tawaduk. Semakin bertambah ilmunya maka semakin rahmat kepada yang lainnya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
هُمْ أَعْلَمُ بِالْحَقِّ وَأَرْحَمُ بِالْخَلْقِ
“Mereka (Ahlussunnah waljamaah) adalah manusia yang paling mengetahui kebenaran dan paling mengasihi sesama manusia.”([6])
Tidak justru sebaliknya, semakin dia lama belajar semakin dia sombong di hadapan orang lain. Semakin merendahkan dan memandang orang lain dengan pandangan ejekan. Maka hendaknya penuntut ilmu berhati-hati, karena sebagaimana harta bisa mengantarkan kepada kesombongan, begitu juga dengan jabatan dan kedudukan bisa mengantarkan kepada kesombongan, maka ilmu juga bisa mengantarkan seseorang ke dalam kesombongan.
Kenyataannya, seseorang yang asalnya tawaduk, tetapi setelah memiliki barang mewah maka dia menjadi sombong. Hal ini karena kemewahan yang mempengaruhi hatinya sehingga menjadikan dirinya sombong. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ
“Angkuh dan sombong ada pada para penggembala unta, sedangkan ketenangan dan kewibawaan ada pada para penggembala kambing.”([7])
Seseorang hendaknya berhati-hati terhadap kemewahan, sebab kemewahan bisa mempengaruhi seseorang menjadi sombong. Jangankan suatu hal yang mewah, bahkan pada perkara yang tadinya seseorang tidak sombong dengannya, lama-lama bisa menjadi suatu perkara yang disombongkan dengan sendirinya. Karenanya, seseorang yang merasa dirinya kaya hendaknya dia tidak selalu tampil dengan kemewahannya. Hendaknya di saat-saat tertentu dia meninggalkan kemewahannya tersebut. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ الْبَذَاذَةَ مِنَ الْإِيمَانِ
“Sesungguhnya bersahajanya penampilan itu termasuk keimanan.”([8])
Jika dengan harta bisa mengantarkan seseorang kepada kesombongan maka demikian pula dengan ilmu, bahkan bisa jadi ilmu lebih cepat mengantarkannya kepada kesombongan. Memiliki hafalan Al-Qur’an, matan-matan ilmiah, itu bisa mengantarkan kepada kesombongan. Umumnya juga kesombongan itu datang karena merasa diri paling hebat, padahal di luar sana masih banyak orang yang lebih hebat darinya. Maka hendaknya nikmat berupa ilmu itu untuk disyukuri bukan untuk disombongkan.
Setiap orang yang belajar mesti bersemangat dan berusaha konsisten terus menerus belajar. Ketika menghadiri kajian maka dia berusaha menetapi kajian tersebut. Dia juga bersemangat untuk mendengarkan, memperhatikan, mencatat, dan memurajaahnya. Karena menuntut ilmu adalah ibadah, maka setiap aktivitas-aktivitas yang dilakukan di dalam menuntut ilmu adalah ibadah pula.
Bukan berarti setiap hari seseorang harus menghabiskan untuk menghadiri pengajian, terutama yang profesinya adalah pedagang, karyawan, dan sejenisnya, karena mereka tentu punya kewajiban lain yaitu bekerja untuk menafkahi keluarganya. Tetapi paling tidak dia memiliki jadwal pengajian yang tetap dalam sepekannya, kemudian berusaha istikamah terus menerus menghadirinya, bersemangat dan terus mengulangi pelajaran yang dia dapatkan.
Penyakit ini banyak menimpa para penuntut ilmu di zaman sekarang. Hobinya komentar dan berdebat di media sosial dan grup-grup WhatsApp. Imam Nawawi rahimahullah dalam mukadimah kitab Al-Majmu’ menuturkan beberapa riwayat tentang sikap ulama salaf, di antaranya perkataan Abdurrahman bin Abi Laila rahimahullah,
أَدْرَكْتُ عِشْرِينَ وَمِائَةً مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يسئل أَحَدُهُمْ عَنْ الْمَسْأَلَةِ فَيَرُدُّهَا هَذَا إلَى هَذَا وَهَذَا إلَى هَذَا حَتَّى تَرْجِعَ إلَى الْأَوَّلِ
“Aku mendapati seratus dua puluh sahabat Anshar, ketika salah satu dari mereka ditanya tentang suatu masalah maka ia akan mengirimkan kepada sahabat lain dan sahabat yang lain melakukan hal serupa hingga kembali lagi pada sahabat pertama tadi.”
‘Abdurrahman bin Abi Laila juga rahimahullah berkata,
لَقَدْ أَدْرَكْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ عِشْرِينَ وَمِائَةً مِنْ الْأَنْصَارِ , وَمَا مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ يُحَدِّثُ بِحَدِيثٍ , إِلَّا وَدَّ أَنَّ أَخَاهُ كَفَاهُ الْحَدِيثَ , وَلَا يُسْأَلُ عَنْ فُتْيَا , إِلَّا وَدَّ أَنَّ أَخَاهُ كَفَاهُ الْفُتْيَا
“Sungguh aku telah menemukan di masjid ini sekitar seratus dua puluh sahabat dari kalangan Anshar, dan tak seorang pun di antara mereka menyampaikan sebuah hadis kecuali ia berharap saudaranya lah yang menyampaikan hadis tersebut, dan tidaklah ditanya tentang suatu fatwa kecuali ia berharap saudaranya yang cukup memberikan fatwa tersebut.” ([9])
Jika sudah berkaitan dengan masalah agama maka hendaknya seseorang tidak mudah berbicara tanpa memastikan kebenaran ucapannya. Jika telah ada yang menjawab atau berbicara dalam suatu masalah maka tidak perlu juga bagi dirinya ikut campur untuk ikut menjawabnya dan ikut tampil, sebab perkara ini berkaitan dengan berbicara atas nama Allah ﷻ , dan di antara dosa besar adalah berbicara atas nama Allah ﷻ tanpa ilmu. Allah ﷻ berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raf : 33)
Sebuah kisah yang disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar rahimahullah dalam kitabnya Jami’ Bayan Al-‘illmi Wa Fadlihi. Suatu ketika, Imam Malik rahimahullah datang menemui Rabi’ah bin Abdurrahman rahimahullah. Beliau melihatnya sedang menangis tersedu-sedu, maka Imam Malik rahimahullah berkata, “apakah ada musibah yang menimpamu?” Rabi’ah bin Abdurrahman rahimahullah berkata,
لَا، وَلَكِنِ اسْتُفْتِيَ مَنْ لَا عِلْمَ لَهُ وَظَهَرَ فِي الْإِسْلَامِ أَمْرٌ عَظِيمٌ، قَالَ رَبِيعَةُ: وَلَبَعْضُ مَنْ يُفْتِي هَا هُنَا أَحَقُّ بِالسَّجْنِ مِنَ السُّرَّاقِ
“Tidak sama sekali. Aku menangis karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa, sehingga muncullah kerusakan besar di tengah agama Islam ini. Sebenarnya, sebagian orang yang lancang berfatwa lebih pantas untuk dipenjara dibanding para pencuri.”([10])
Jika seorang penuntut ilmu menulis sesuatu yang merupakan karya orang lain maka dia harus nukilkan. Jangan tampakkan seakan-akan itu adalah karya dia.
Mengamalkan Ilmu yang Telah Didapat
Salah satu tujuan utama dari menuntut ilmu adalah agar ilmu tersebut dapat diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan tidak akan memberikan manfaat yang optimal, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, jika seseorang belajar tentang pentingnya disiplin waktu, maka ia harus mulai menerapkan disiplin waktu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Adab menuntut ilmu dalam Islam
Selain memiliki beberapa keutamaan dalam menuntut ilmu, dalam Islam juga diajarkan bagaimana adab seseorang saat menuntut ilmu agar ilmu yang sedang ia pelajari dapat membawa banyak berkah bagi kehidupan. Seperti kata Imam Malik pada kaum Qurais yaitu sebagai berikut:
“Pelajarilah ilmu adab sebelum mempelajari sebuah ilmu”
Dalam pesan tersebut, dapat diketahui sangat penting saat mempelajari sebuah adabnya terlebih dahulu sebelum seseorang dapat dalam menuntut ilmu. Berikut ini merupakan adab-adab yang menuntut ilmu yang perlu kita ketahui:
Disaat kita hendak untuk menuntut sebuah ilmu, niat utama kita harus karena Allah. Seperti dalam firman Allah pada surah Al Bayyinah ayat 5:
“Padahal untuk mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan cara memurnikan ketaatan kepada-Nya saat (menjalankan) agama yang lurus, serta supaya mereka mendirikan shalat juga menunaikan zakat; serta yang demikian itulah agama yang lurus.”
Seperti Nabi Muhammad yang sering kali berdoa dalam menuntut ilmu, sebagai berikut:
“Ya Allah, berikanlah manfaat atas apa yang Engkau ajarkan untukku, ajarilah aku dengan hal-hal yang bermanfaat untukku, serta tambahkanlah aku ilmu.”
Ketika dalam menuntut ilmu hendaknya kita bisa bersungguh-sungguh serta selalu antusias untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Tuntutlah atas ilmu seolah-olah tidak pernah kenyang atas seluruh ilmu yang didapatkan, hendaknya kita selalu berkeinginan terus untuk bisa menambah ilmu kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Terdapat dua orang yang rakus yang tidak pernah kenyang: yaitu untuk orang yang rakus atas ilmu serta tidak pernah puas atasnya serta orang yang rakus dengan dunia juga tidak pernah kenyang dengannya.” (HR. Al-Baihaqi)
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang hamba yang melakukan sebuah kesalahan, maka akan dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya serta meminta ampun juga bertaubat, hatinya akan dibersihkan. Apabila kembali (berbuat maksiat), maka akan ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Hal tersebutlah yang diistilahkan dengan nama ‘ar raan’ yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu akan menutupi hati mereka’.”
Agar kita bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta penuh berkah, sehingga kita harus menjauhkan diri dari maksiat, karena maksiatlah yang akan membuat otak kita menjadi sulit untuk bisa berkonsentrasi sehingga ilmu yang kita tangkap ini akan sulit dipahami.
Bila ingin mendapatkan sebuah ilmu yang bermanfaat, sebaik nya kita perlu rendah hati. Jangan merasa sombong apabila kita sudah merasa cukup dengan semua ilmu yang sudah kita miliki, seperti yang dikatakan Imam Mujahid seperti dibawah ini:
“Dua orang yang tidak belajar ilmu, yaitu orang pemalu serta orang yang sombong” (HR. Bukhari secara muallaq)
“Dan ketika dibacakan Al Quran, maka simaklah baik-baik, serta perhatikanlah dengan tenang supaya kamu mendapat rahmat.”
Menyimak dari ajaran guru maupun seseorang yang sedang mengajarkan ilmu kepada kita menjadi sebuah adab dalam menuntut ilmu. Jangan berbicara maupun melakukan hal lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan alur pelajaran yang disampaikan ketika menuntut ilmu, maksudnya kita perlu fokus mendengarkan serta menyimak.
Kesungguhan dan Disiplin dalam Menuntut Ilmu
Belajar memerlukan kesungguhan dan disiplin. Tanpa kedua hal ini, proses menuntut ilmu hanya akan berakhir dengan setengah hati, dan hasil yang didapat pun tidak akan optimal. Disiplin waktu, menetapkan jadwal belajar yang konsisten, serta menghindari sikap malas atau menunda-nunda adalah bagian penting yang harus diterapkan.
Ilmu adalah warisan para Nabi
Rasulullah SAW bersabda: “Dan dalam sesungguhnya Nabi – Nabi tidak pernah mewariskan uang emas serta tidak pula uang perak, namun untuk mereka yang telah mewariskan ilmu (ilmu syar’i) barang siapa yang telah mengambil atas warisan tersebut maka sesungguhnya ia sudah mengambil pada bagian yang banyak.” (HR Ahmad).
Hal ini menunjukkan bahwa dalam keutamaan menuntut ilmu ini akan lebih tinggi daripada uang serta emas yang dalam sifat materi. Karena, ketika seseorang memiliki ilmu serta hingga mengajarkannya, maka dalam hal tersebut akan menjadi sebuah amal jariyah yang terus mengalir bahkan ketika orang tersebut sudah meninggal dunia.
Menuntut ilmu merupakan sebuah jalan menuju surga
Surga merupakan hal idaman bagi setiap muslim. Bahkan, ia pun menjadi sebuah janji dari Allah SWT bagi banyak amalan shalih yang banyak dilakukan oleh umat Islam. Sehingga, ketika Allah SWT menjadikan ilmu tersebut sebagai jalan utama menuju jalan surga, maka hal ini menunjukkan akan besarnya keutamaan dalam menuntut ilmu.
Hal tersebut juga sudah mendapatkan landasan syar’i, karena berdasarkan dalam sebuah hadis ketika Rasulullah SAW bersabda: “… Barang siapa yang meniti sebuah jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah juga akan memudahkan baginya untuk jalan menuju surga…” (HR Ahmad).
Manfaat yang akan terus mengalir walaupun sudah meninggal
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak serta cucu Adam meninggal dunia, maka akan terputuslah amalannya kecuali dengan tiga jalur: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak shalih yang senantiasa akan mendoakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Siapa yang tidak ingin terus menerus untuk bisa mendapatkan pahala walaupun telah meninggal dunia. Hal tersebut akan didapatkan oleh orang yang telah bersungguh-sungguh saat menuntut ilmu. Karena, ilmu tersebut tidak hanya bermanfaat untuk dirinya, namun juga berpengaruh untuk orang lain.
Keutamaan dalam ilmu ini sebaiknya bisa sebab untuk para setiap Muslim senantiasa bersemangat serta bersungguh-sungguh dalam perjalanan menuntut ilmu.
Syaikh Az Zarnuji juga mengatakan, bahwa dalam antara hal yang penting pada menuntut ilmu yang perlu diperhatikan yaitu fil jiddi atau kesungguhannnya. Apabila sesuatu dilakukan dengan kesungguhan, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberi keberhasilan di dalamnya. Selain kesungguhan (al jiddu), yang juga perlu diiringi dengan sebuah sikap kesungguhan yang kemudian terus menerus (al muwazobah) serta komitmen (al muzallimah) atas menuntut ilmu. Tiga sikap tersebut harus terus ada dalam diri seorang pelajar serta berjalan beriringan, tidak dapat hanya menjalani salah satunya saja.
Wajib untuk setiap pelajar, yang bersungguh-sungguh, terus menerus, serta komitmen, tidak berhenti jika tujuannya dalam menuntut ilmu dapat tercapai. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Maryam: 12 yang artinya, “Wahai Yahya, ambillah kitab itu dengan kuat”, serta dalam QS Al Ankabut: 69 yang pada artinya, “Dan pada orang-orang berjuang, untuk bisa mencari keridhaan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan mereka jalan-jalan menuju kita”.
Diucapkan Az Zarnuji, barangsiapa yang sudah mencari sesuatu serta dilakukannya dengan sikap sungguh-sungguh, pasti mereka akan mendapatkannya. Serta barangsiapa yang mengetuk pintu secara terus menerus, pasti bisa masuk. Dikatakannya pula, bahwa dengan sesuai kesungguhannya, seseorang pasti akan bisa mendapatkan apa yang menjadi harapannya.
Dalam makna kesungguhan ini, Az Zanurji menjelaskan dalam kesulitan yang dihadapi seseorang akan bisa selesai dalam kesungguhan, terutama ketika kesulitan yang sudah dihadapi saat proses belajar. Allah akan bisa memberikan pertolongan pada seseorang bila Allah menghendaki. Kesulitan bisa selesai dengan kesungguhan menjadi sebuah anugerah dari Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam kekuasaan-Nya.
Kesungguhan di dalam belajar serta memperdalam sebuah ilmu bukan hanya dari sebbuah pelajar semata namun dalam kesungguhan ini juga diperlukan kesungguhan dari tiga (3) orang, yakni pelajar (murid), guru, serta orang tua. Apabila murid, guru, serta orang tua sungguh-sungguh, insya Allah hal tersebut akan berhasil, kesulitan menuntut ilmu, dalam belajar akan bisa selesai.
Manusia yang diperintahkan Allah untuk belajar serta menuntut ilmu. Hanya saja memang kualitas terhadap akal manusia itu dengan kapasitas yang berbeda-beda. Kesungguhan inilah yang menjadi sebuah kunci. Dengan kesungguhan tersebut, sesuatu yang sulit itu akan dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Motto hidup Islami pendidikan, menginspirasi.
31. "Tujuan mempelajari ilmu ialah untuk semakin mengetahui keagungan Allah SWT."
32. "Mempelajari ilmu menumbuhkan kelezatan di dalam hati."
33. "Buah dari ilmu ialah semakin rendah hati, zuhud, tenang."
34. "Bila ilmu bertambah tapi ketenanganmu tidak, sesungguhnya ilmu itu belum masuk ke dalam hatimu."
35. "Sabar merupakan bekal wajib bagi para pencari ilmu."
36. "Letihnya dirimu belajar di hari ini tidak seletih mereka yang bodoh di masa depan nanti."
37. "Hormati gurumu. Tutupi kekurangannya. Dan selalu rendah hati di hadapannya."
38. "Pelajar terbaik ialah pelajar yang bisa lebih hebat dari gurunya."
39. "Semua pencapaian besar di dunia ini selalu dimulai dengan ilmu pengetahuan."
40. "Kebahagiaan akhirat hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan."
41. "Lebih baik menjadi orang pintar yang merasa bodoh daripada orang bodoh yang merasa pintar."
42. "Seandainya seumur hidupmu digunakan untuk mempelajari Islam, maka tidak akan selesai. Islam adalah lautan ilmu yang sangat dalam."
43. "Ada dua orang rakus yang tidak pernah puas: yang pertama rakus terhadap harta yang kedua rakus terhadap ilmu."
44. "Islam membutuhkan pemuda-pemuda yang cerdas, gigih, penuh keimanan, dan semangat juang yang tak pernah pudar."
45. "Tugas utama pelajar adalah belajar."
46. "Mencari ilmu adalah hal yang mulia di sisi Allah SWT dan merupakan satu di antara ibadah yang di terima-Nya."
47. "Berpikirlah positif, tidak peduli seberapa keras kehidupanmu." - Ali bin Abi Thalib
48. "Kita adalah makhluk yang suka menyalahkan dari luar, tidak menyadari bahwa masalah biasanya dari dalam." - Abu Hamid Al Ghazali
49. "Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu." - Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
50. "Ilmu yang tidak bermanfaat ibarat obat yang tidak menyembuhkan."
51. "Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri." HAMKA
52. "Barangsiapa belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu walau sesaat, ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya." Imam Syafii
53. "Menuntut ilmu adalah takwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang ilmu adalah dzikir, mencari ilmu adalah jihad." Al-Ghazali
54. "Hendaklah kamu semua mengusahakan ilmu pengetahuan itu sebelum dilenyapkan. Lenyapnya ilmu pengetahuan ialah dengan matinya orang-orang yang memberikan atau mengajarkannya. Seseorang itu tidaklah dilahirkan langsung pandai, jadi ilmu pengetahuan itu pastilah harus dengan belajar." Ibnu Masud
55. "Muridku, ketahuilah bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat." Imam Waki, Guru Imam Syafii
56. "Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat." HR. Abu Daud
57. "Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya, maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat." Imam Syafii
58. "Ilmu itu dimiliki dengan lidah yang banyak bertanya dan akal yang gemar berpikir." Abdullah ibnu Abbas
59. "Hakikat ilmu adalah sesuatu yang menjadikan seorang hamba semakin takut kepada Rabb-Nya."
60. "Janganlah seseorang tertipu dengan ilmunya, karena apa yang ia tidak tahu lebih banyak dari apa yang ia ketahui." - Syarh Ad-Durrotul Madhiyah: 227
Pengertian Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu memiliki arti ikhtiar atau sebuah usaha dalam mempelajari sebuah ilmu, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat dengan tujuan agar ilmu tersebut dapat bermanfaat untuk dirinya dan juga untuk orang lain.
Ilmu dunia berfungsi untuk memudahkan dalam hidup di dunia, sedangkan untuk ilmu akhirat sendiri dicari agar manusia dapat memiliki tuntutan serta tidak tersesat dalam sebuah kebatilan. Karena dalam manusia sejatinya tujuan akhirnya yaitu akhirat, serta untuk bisa mendapatkan akhirat tentu perlu harus belajar dalam ilmu agama.
Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya pada kepergianmu pagi hari untuk dapat mempelajari satu ayat dari kitab Allah itu lebih baik untuk mu dari pada kamu Shalat sebanyak seratus rakaat. Dan sesungguhnya dalam kepergianmu pada pagi hari untuk mempelajari satu bab dari sebuah ilmu, baik diamalkan maupun tidak, itu akan lebih baik untukmu daripada shalat seribu rakaat.”
Allah SWT Akan Meninggikan Derajat
Terkait dalam keutamaan sebuah menuntut ilmu satu ini, dalam Alquran sendiri Allah SWT akan berfirman: “Allah mengangkat orang-orang beriman di antara kalian serta orang-orang yang diberi ilmu sebanyak beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11).
Mengenai tafsiran atau arti dalam ayat ini, Imam Syaukani berkata: “Dan makna ayat ini bahwasanya Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dari orang-orang yang tidak beriman, serta mengangkat beberapa derajat bagi orang-orang yang berilmu (serta beriman) dari orang-orang yang hanya dengan beriman. Maka barang siapa yang menggabungkan antara iman serta ilmu maka Allah akan mengangkatnya beberapa derajat atas imannya, lalu Allah mengangkat derajatnya atas seluruh ilmunya.”